Sumirah: Berjuang Memperoleh Kemandirian

Lahir dan dibesarkan di Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, 17 Km arah barat dari Kota Yogyakarta, ia semenjak remaja sudah mulai menekuni kerajinan dengan bekerja pada seorang pengusaha kerajinan anyaman di desanya.


Thursday, July 29, 2010

Sumirah: Berjuang Memperoleh Kemandirian

Lahir dan dibesarkan di Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, 17 Km arah barat dari Kota Yogyakarta, ia semenjak remaja sudah mulai menekuni kerajinan dengan bekerja pada seorang pengusaha kerajinan anyaman di desanya.

"Sejak SMP saya sudah bekerja pada Wardoyono," kisah Ny. Susmirah saat ditemui di pusat aneka kerajinanan yang sekaligus sebagai rumah tinggalnya di Kampung Mertoyudan, Salamrejo, Sentolo, Kulonprogo, Kamis (25/9).

la dulu memang hanya karyawan sebuah kerajinan milik seorang perajin generasi pertama di desanya. Namun, keinginan untuk mandiri dan membuka usaha sendiri telah menghantarkan dirinya menjadi pengusaha kerajinan ternama di wilayah Kulonprogo.

Sebagai pengusaha kerajinan berbahan baku serat alam berupa agel, bagoran, kulit, enceng gondok, pandan, pelepah pisang, kulit kayu serta bahan baku tempurung kelapa, Ny. Susmirah kini memiliki 35 tenaga kerja yang direkrut dari sekitar desanya. Mereka kebanyakan ibu-ibu muda yang berniat menambah penghasilan keluarga.

Dari 35 tenaga kerja tersebut, 25 di antaranya adalah perajin tetap dan 10 lainnya perajin lepas, Artinya, kalau lagi banyak order, maka para pekerja lepas tersebut baru dilibatkan untuk membantu usahanya.
Sebagian perajin bekerja rutin di sentra kerajinannya, dan sebagian lainnya mengerjakan anyaman d rumah masing-masing. Kalau hasil anyamannya sudah usai, baru disetor ke Ny Susmirah.
Para perajin ibu-ibu muda ini dibayar seminggu sekali, dengan penghasilan antara Rp 12.500,- sampai Rp 27.500,-perhari. "Tergantung kreativitas mereka. Semakin kreatif dalam bekerja maka kian dihargai tinggi," tutur Indri Widiyanti, salah seorang anak Ny. Susmirah yang turut membantu usaha orangtuanya.
Ny, Susmirah menuturkan,tahuin l970 sampai 1980-an usaha kerajinan dirasakan masih sulit berkembang. Karena itu usaha anyaman di sekitar desanya banyak bangkrut.  Sebagai perajin pemula generasi kedua yang bertekad punya usaha kerajinan sendiri, ia memulai dengan mengajari ibu-ibu di sekitar desanya, bagaimana cara menganyam bahan baku serat alam.    

"Dari sekitar 50 ibu-ibu yang saya ajari menganyam, paling yang mau menekuni cuma 3 atajj 4 orangsaja," kenangnya. Kini sentra kerajinan Ny. Susmirah kadang didatahgi rombongan ibu-ibu dari luar kota. Mereka menginap beberapa malam di wisma gebang miliknya untuk belajar cara menganyam.
Menurutnya, untuk sekadar bisa menganyam paling tidak butuh waktu belajar seminggu, sedangkan untuk mencetak perajin terampil yang mampu membuat karya kerajinan layak jual, setidaknya perlu waktu belajar selama 3 bulan. "Paling sulit mengajari menganyam orang Papua,"sebut Ny. Susmirah. Produk yang dihasilkan di sentra kerajinan ini berupa tas, bantal, karpet, kotak perhiasan, tempat pakaian kotor,tempatsampah,dan meja-kursi dari bahan anyaman.

Meski diakui hasil produksinya banyak untuk memenuhi pasar internasional, namun belakangan ia lebih membidik pasar lokal yang cukup menjanjikan. "Tujuan akhirnya memang go internasional" ucap Ibu tiga anak yang baru saja mengembangkan usahanya dengan membuka ruang pamer dan tempat penjualan barang-barang kerajinan.

Showroom penjualan cenderamata yang baru dibukanya itu terletak di Jalan Raya Yogya-Wates Km 18, tepatnya di Dusun Ngelo, Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, sekitar 200 meter dari sentra kerajinannya. Gerai pamer barunya ini dinamai Jogjavanesia Craft Shop. la menjelaskan perlunya didirikan pusat penjualan cenderamata. "Karena selama ini banyak wisatawan yang kecewa ketika memasuki desa kerajinan. Mereka tidak banyak menjumpai jenis barang kerajinan seperti yang ditawarkan,"katanya.
Kini dengan adanya gerai pamer tersebut para perajin bisa menitipkan hasil kerajinan untuk dijajakan pada wisatawan yang berkunjung ke tokonya. Barang kerajinan yang dipajang di Jogjavanesia ini diakui bukan saja hasil dari sentra kerajinannya sendiri, melainkan sebagian didatangkan dari perajin di BantuI, Wonosari, dan di sekitar wilayah Kulonprogo sendiri.
Ny. Susmirah mengaku sudah jatuh-bangun menggeluti kerajinan anyaman bahan baku serat. "Sudah sekitar 30 tahun saya menekuni usaha kerajinan anyaman. Kini suami dan ketiga anaksaya membantu semua,"katanya.

Bupati Kulonprogo, Toyo S Dipo mengatakan, di wilayahnya ada dua potensi produk andalan. Selain kerajinan anyam-anyaman bahan baku serat alam, seperti halnya yang digeluti pengusaha kerajinan Ny. Susmirah, juga industri makanan dan minuman.
Tumbuhan enceng gondok dan gedebok pisang yang selama ini tidak dirasakan ekonomisnya, sekarang mampu menghasilkan dolar," tutur Toyo. Tanaman enceng gondok yang dulu jadi musuh petani, kini jadi bahan baku kerajinan anyaman. Bahan baku enceng gondok bisa diperoleh di sekitar Kulonprogo, namun kerapkali juga
harus didatangkan dari Rawapening (Salatiga) dan Brebes yang juga wilayah JawaTengah. Sedangkan bahan baku agel, harus didatangkan dari Banyuwangi, Jawa Timur. Untuk bahan baku serat pandan didapatkan dari Tasikmalaya, Jawa Barat.


Menurutnya, perajin di Kulonprogo sendiri tercatat ada 56 ribu orang. Mereka ada yang bekerja penuh, dan sebagian hanya paruh waktu. "Para perajin di Sentolo dan Nanggulan serta Girimulyo, biasanya kalau sore menganyam membuat tas sambil nonton televisi.Tangan-tangan warga di sini sepertinya tak mau berhenti,"puji Bupati Toyo.

Di gerai pamer Ny. Sumirah ini juga dijajakan emping dari bahan baku garut. Makanan ringan ini cukup mendapat pasaran, karena kadar kolesterolnya rendah. Makanan tradisional   bikinan   penduduk   Kulonprogo   ini   kerap dihidangkan bagi para tamu yang berkunjung ke desa-desa tersebut.
Di sini, makanan tradisional yang dipadukan dengan jenis makanan modern mulai digemari masyarakat,"tuturToyo. Ketua   Umum   Dewan   Nasional   Indonesia   untuk Kesejahteraan   Sosial   (DNI-KS)   Prof.   Dr.   Haryono Suyono ketika mampirdi Jogjavanesia menilai perlu adanya pos-posdesa atau titik-titiksentral tourism. Ini dimaksudkan agar lama tinggal wisatawan bias lebih lama lagi.
"Jadi bukan hanya mampir di monumen tunggal toko kerajinan ini saja, namun perlu ada rumah makan atau mungkin perhotelan. Sehingga ekonomi rakyat Kulonprogo mampu bertumbuh,"harapnya. ***

Bambang Sugiharto
repost from : satudunia.net